Maharaja Tiwa yang gundah gulana duduk di atas singgasana Kerajaan Tiwa yang megah. Didampingi penasihatnya, Tuanku Serupa-emmet, tengah memperbincangkan tentang rencana seribu hari mendatang. Tuanku Serupa-emmet mungkin jarang nampak oleh penduduk Kerajaan Tiwa namun pastilah ia orang penting bagi Maharaja. Ia adalah salah satu tangan kanan Maharaja Tiwa. Dari masalah cucian yang belum dikembalikan oleh tukang cuci hingga masalah burung kesayangan, Kukilajene, yang sedang terluka sayapnya.
"Padahal aku sudah memberinya ajian Kitiran Gasal. Tapi mengapa ia tak kunjung bisa terbang?" Keluh Maharaja.
Tak jauh dari tempat Tuanku Serupa-emmet duduklah Pangeran Matahari. Ia juga memikirkan tentang patahnya sayap Kukilajene kesayangan ayahandanya.
"Benar ayahanda paduka. Ananda telah melatihnya dengan ajian Kitiran Gasal hingga tingkat 11. Apakah perlu ananda keluarkan ajian tingkat 14?" ujar Pangeran Matahari disertai pertanyaan.
"Jangan, ananda. Jika kau paksakan akibatnya bisa runyam. Bukan demikian Andika Serupa-emmet?" Cegah Maharaja seraya meminta masukan dari Tuanku Serupa-emmet.
"Hamba rasa demikian, paduka. Keadaan Kukilajene itu tidak memungkinkan untuk diberi ajian sampai tingkat tertinggi," jawab Tuanku Serupa-emmet.
Sejenak setelah perbincangan datanglah Panglima Bagus Aromakota.
"Izin menghadap, paduka. Hamba hendak mewartakan kabar penting," pinta Bagus Aromakota.
"Ya, bicaralah, Panglima," jawab Maharaja.
"Paduka tengah bergundah hati. Mohon petunjuk dari paduka," ungkap Panglima.
"Ah, apalagi yang terjadi?" tanya Maharaja keheran-heranan, "Cucian belum siap, burungku eh burung kesayanganku belum sembuh, sekarang....yah, teruskan, teruskanlah, panglima," perintah Maharaja Tiwa.
"Hamba sebagai pandega perbaikan pagupon Kukilajene merasa kekurangan paku, reng, dan atap," Panglima menjelaskan duduk persoalannya.
"Akh... Lantas bagaimana andika mengatasinya? Mengapa bisa kurang?" tanya Maharaja setengah tidak percaya.
"Anu, paduka... Para pekerja kekurangan garam dapur sehingga hamba terpaksa membelikannya garam dahulu untuk mereka sehingga sejenak terlupa akan paku, reng, dan atap itu. Mohon ampun, paduka yang mulia," Panglima Bagus Aromakota memaparkan alasan dengan rasa ketakutan, "Ini hamba juga bawakan garam untuk paduka," lanjutnya.
"Lantas, apa yang terjadi dengan penasihatmu, Gladiragaputra. Apakah dia juga kekurangan garam?" tanya Maharaja Tiwa.
"Ehm, sebenarnya tidak, paduka. Namun hamba juga berikan garam kepadanya," jawab Panglima tentang Penasihat Gladiragaputra.
"Ya sudah. Tapi harap selesaikan pagupon itu secepatnya sebelum acara penyambutan para raja seberang dalam Upacara Kridaloka Jalesveva," perintah Maharaja.
"Baiklah, paduka yang mulia. Hamba mohon restunya," Panglima Bagus Aromakota mohon diri.
Dua pekan berlalu, Kerajaan Tiwa mengirimkan pasukan menuju ke Kerajaan Bandejapaisha. Ekspedisi tersebut bertujuan untuk mengambil persembahan Pasir Akkar. Pasir yang terkenal liat dan mahal akan digunakan untuk membangun Aula Persemaian yang akan diresmikan pada Upacara Dasamukti.
"Padahal aku sudah memberinya ajian Kitiran Gasal. Tapi mengapa ia tak kunjung bisa terbang?" Keluh Maharaja.
Tak jauh dari tempat Tuanku Serupa-emmet duduklah Pangeran Matahari. Ia juga memikirkan tentang patahnya sayap Kukilajene kesayangan ayahandanya.
"Benar ayahanda paduka. Ananda telah melatihnya dengan ajian Kitiran Gasal hingga tingkat 11. Apakah perlu ananda keluarkan ajian tingkat 14?" ujar Pangeran Matahari disertai pertanyaan.
"Jangan, ananda. Jika kau paksakan akibatnya bisa runyam. Bukan demikian Andika Serupa-emmet?" Cegah Maharaja seraya meminta masukan dari Tuanku Serupa-emmet.
"Hamba rasa demikian, paduka. Keadaan Kukilajene itu tidak memungkinkan untuk diberi ajian sampai tingkat tertinggi," jawab Tuanku Serupa-emmet.
Sejenak setelah perbincangan datanglah Panglima Bagus Aromakota.
"Izin menghadap, paduka. Hamba hendak mewartakan kabar penting," pinta Bagus Aromakota.
"Ya, bicaralah, Panglima," jawab Maharaja.
"Paduka tengah bergundah hati. Mohon petunjuk dari paduka," ungkap Panglima.
"Ah, apalagi yang terjadi?" tanya Maharaja keheran-heranan, "Cucian belum siap, burungku eh burung kesayanganku belum sembuh, sekarang....yah, teruskan, teruskanlah, panglima," perintah Maharaja Tiwa.
"Hamba sebagai pandega perbaikan pagupon Kukilajene merasa kekurangan paku, reng, dan atap," Panglima menjelaskan duduk persoalannya.
"Akh... Lantas bagaimana andika mengatasinya? Mengapa bisa kurang?" tanya Maharaja setengah tidak percaya.
"Anu, paduka... Para pekerja kekurangan garam dapur sehingga hamba terpaksa membelikannya garam dahulu untuk mereka sehingga sejenak terlupa akan paku, reng, dan atap itu. Mohon ampun, paduka yang mulia," Panglima Bagus Aromakota memaparkan alasan dengan rasa ketakutan, "Ini hamba juga bawakan garam untuk paduka," lanjutnya.
"Lantas, apa yang terjadi dengan penasihatmu, Gladiragaputra. Apakah dia juga kekurangan garam?" tanya Maharaja Tiwa.
"Ehm, sebenarnya tidak, paduka. Namun hamba juga berikan garam kepadanya," jawab Panglima tentang Penasihat Gladiragaputra.
"Ya sudah. Tapi harap selesaikan pagupon itu secepatnya sebelum acara penyambutan para raja seberang dalam Upacara Kridaloka Jalesveva," perintah Maharaja.
"Baiklah, paduka yang mulia. Hamba mohon restunya," Panglima Bagus Aromakota mohon diri.
Dua pekan berlalu, Kerajaan Tiwa mengirimkan pasukan menuju ke Kerajaan Bandejapaisha. Ekspedisi tersebut bertujuan untuk mengambil persembahan Pasir Akkar. Pasir yang terkenal liat dan mahal akan digunakan untuk membangun Aula Persemaian yang akan diresmikan pada Upacara Dasamukti.